PENJAJAH NEGERI IKAN

Sungai itu mendadak berbau anyir, terkadang warnanya berubah merah seperti darah. Orang-orang dusun yang tadinya menggantungkan hidup pada sungai itu, kini perlahan meninggalkannya secara teratur. Para ibu tak lagi mencuci pakaian suami dan anak-anak mereka di sana. Begitupun anak-anak kecil, tak ada satu pun dari mereka yang bermain di bantaran sungai dengan derai tawa. Sungai itu benar-benar sepi sekarang. Orang-orang pergi meninggalkannya. Bahkan penduduk dusun tak ada yang sudi walau sekedar membuang hajatnya di sungai itu.

*  *  *

"Ini rejeki yang tak disangka-sangka Rom," Ujar Rasijan setengah berbisik pada adiknya. Romli. Bagaimana tidak, saat mereka nyuloh ikan di sungai malam itu, sepulang mengaji di musholla Al-Mubarok yang berada tak jauh dari sungai, ditemani rembulan yang berada dalam bentuk sempurnanya, yang bulat seperti biskuit bayi, dan lampu senter yang dipasang sedemikian rupa di kepala, mereka melihat banyak ikan yang menepi. Ikan-ikan wader berputar-putar layaknya sedang kesurupan, atau mungkin sedang mabuk selepas berpesta di bawah naungan cahaya purnama, begitupun dengan ikan-ikan lele, gabus, serta udang-udang kecil. Ikan-ikan itu bergelepakan. Bahkan sebagian ada yang melompat-lompat dan tergeletak di daratan. Mulut ikan-ikan itu komat-kamit seperti merapalkan mantera, atau mungkin sedang berdoa agar selamat dari tangkapan Romli dan Rasijan. Entahlah hanya mereka, Tuhan, serta teman-teman sesama ikan yang tahu-itupun jika ikan-ikan yang lain masih peduli dengan keadaan teman sesama ikan karena mereka tengah sibuk dengan diri mereka masing-masing.

Suasana sungai yang biasanya gelap, sunyi, damai dengan gemericik air, juga nyanyian merdu katak-katak yang tengah asyik memadu cinta dengan kekasihnya, menjadi begitu riuh malam itu. Satwa-satwa malam bersenandung sendu, menyanyikan lagu-lagu perpisahan pada ikan-ikan yang menunggu takdir mereka yang mungkin akan berakhir di penggorengan. Juga gesekan-gesekan daun-daun bambu yang tak henti-hentinya memainkan perannya sebagai komponis-yang memainkan lagu-lagu melankonis, membuat suasana menjadi mencekam bagi bangsa ikan karena melihat malaikat maut tengah menari-nari di cakrawala. Malam itu seolah menjadi bencana bagi bangsa ikan yang tidak pernah di alami oleh nenek moyang mereka tapi merupakan sebuah anugerah bagi Romli dan Rasijan.

"Iya kang, ini memang rejeki yang tak disangka-sangka, aku belum pernah melihat ikan sebanyak ini." Jawab Romli sumringah sembari menangkapi ikan dengan sesernya. "Biar nanti emak yang akan memasaknya, nanti aku akan meminta emak membuatkan peyek udang kang, pasti enak." Lanjutnya bersemangat.

"Kalau aku mau dibuatkan oseng-oseng wader Rom." Rasijan berujar.

"Wah, itu pasti enak kang. Apalagi kalau pake nasi jagung ditemani sambel terasi, hmm... pasti sangat lezat." Romli menimpali. Lalu kedua kakak beradik itu hanyut dalam perasaan bahagia sembari menangkapi ikan-ikan yang tengah pusing itu.

Bukan tanpa alasan mereka teramat bahagia melihat begitu banyak ikan yang berhamburan seperti itu, baru setengah jam saja berkutat pada seser di tangan kanan mereka, seember besar yang mereka bawa dari rumah sudah berjejalan dengan ikan yang menunggu untuk dicincang. Itu pemandangan yang teramat langka, karena terakhir kali mereka melihat ikan semelimpah itu, sudah sekitar lima belas tahun yang lalu saat budak-budak rantau sedang senang-senangnya merenggut hak-hak hidup para ikan dengan potas saat pulang ke kampung halaman. Memang tidak semuanya, tapi sebagian besar memang seperti itu. Biasanya saat buih-buih kemarau di hembuskan oleh angin kering bulan oktober dan menetap sejenak di kampung halaman mereka, karena saat itu aliran sungai akan sedikit mengering dan memudahkan para penduduk dusun untuk menangkap bangsa ikan.


Sejak saat itu tak ada lagi satupun ikan yang muncul ke permukaan. Mereka seolah musnah, hilang ditelan bumi. Burung-burung Tengkek urang, tengkek buto, sri mbombok serta burung-burung lain-yang sudah lama menghuni bantaran sungai itu melakukan migrasi besar-besaran karena kehilangan makanan favoritnya, bangsa ikan.

Tak ayal, pagi yang biasanya riuh oleh senandung burung-burung, kini menjelma sepi.

* * *

Keesokan harinya, kabar itu telah menyebar ke seluruh pelosok dusun. Para penduduk berduyun-duyun pergi ke sungai untuk menangkap ikan-ikan yang berhamburan atau - katanya tengah mabuk selepas berpesta. Tapi bukankah hal itu sudah tak penting lagi bagi penduduk dusun? Yang mereka tahu semesta sedang bermurah hati pada mereka.

Para petani meninggalkan sawah-sawahnya,  begitupun dengan para pedagang, Pegawai Negeri Sipil, serta berbagai profesi yang digeluti para penduduk dusun. Pasar tanpa transaksi jual beli, kantor-kantor pemerintahan dibiarkan melompong, sekolah-sekolah, juga tempat ibadah menjelma tempat tak berpenghuni. Mereka meninggalkan pekerjaan serta kewajibannya masing-masing dan lebih memilih mencari ikan yang melimpah di sungai yang mengular membelah dusun. Bahkan ada yang membuat tenda-tenda di sepanjang bantaran sungai. Sungai itu menjelma pasar yang selalu ramai. Sangat riuh oleh tawa bahagia para penduduk dusun.

Sementara itu di negeri ikan, sang penguasa sungai-yang tak lain adalah seekor ikan lele raksasa mulai cemas dengan keadaan rakyatnya. Desas-desus yang menyebar di negeri itu, musibah yang menyebabkan kematian massal di negeri itu di sebabkan oleh cairan berminyak yang menutupi permukaan air. Warnanya terang seperti pelangi saat sinar hangat sang baskara menyentuh lembut permukaannya, lalu warna itu akan menari-nari di atas permukaan air, mengikuti harmoni yang dimainkan semesta; suara gemericik air, riak-riak kecil, gesekan merdu rimbunan bambu, serta nyanyian riang burung-burung yang menghuni bantaran sungai-nyatanya mampu membius rakyat ikan untuk mengikuti warna itu, warna yang lebih mirip dengan selendang bidadari.

Warna-warna indah itu kemudian menjadi petaka bagi rakyat ikan. Saat mereka mulai terlena dengan warna-warna yang menari-nari di permukaan air para ikan tak mampu lagi menahan diri untuk tak mendekatinya. Mereka berenang perlahan mendekati warna indah itu untuk merengkuhnya dan saat itulah selendang bidadari itu menjadi warna coklat yang teramat pekat, membuat mata para ikan yang mendekatinya menjadi gelap, mual, dan insang mereka menjadi pengap lalu satu persatu dari mereka tumbang.

"Benarkah seperti itu paman patih?" Tanya penguasa sungai  pada sang patih yang merupakan ikan gabus.

"Ampun Tuanku, memang benar demikian bahkan efek yang ditimbulkan lebih berbahaya dari potas yang ditebar penduduk dusun beberapa tahun silam tuan."
Sang raja ikan bangkit dari singgasananya, matanya mendongak ke atas, pada permukaan air yang memang terlihat indah jika dilihat dari bawah.

"Cari tahu apa yang terjadi di hulu sungai paman, kalau perlu bertanyalah pada kerajaan di hulu sungai ini."

"Sendiko dawuh tuanku." Sang patih berlalu pergi untuk melaksanakan tugas yang diberikan raja kepadanya.

Hari telah berganti, minggu berlalu, dan bulan-bulan telah ditanggalkan. Raja mulai cemas karena tak terdengar satupun kabar dari sang patih, sementara itu warna pelangi yang mengalir di permukaan sungai menjadi coklat dan semakin tebal dan kental. Sangat kental. Bahkan cahaya mentari tak mampu lagi menembusnya, negeri ikan diliputi kegelapan dan rakyat ikan semakin banyak yang berguguran. Senja yang indah menjadi hal yang paling dirindukan oleh raja ikan. Senja jingga yang menawarkan keteduhan itu kini telah sirna.

Semakin hari rakyat ikan semakin berkurang, hanya tersisa beberapa puluh ekor ikan wader serta belasan ikan gabus dan lele yang bersembunyi di lubang-lubang batu di dasar sungai. Mereka tak punya pilihan selain bersembunyi jika tak ingin sekarat seperti kawan-kawan mereka yang lain dan kemudian ditangkap oleh penduduk dusun. Ikan-ikan itu benar-benar tak berani untuk keluar dan berenang ke permukaan. Mereka diliputi ketakutan yang teramat sangat.

Tapi seperti apapun ikan-ikan itu bersembunyi, tak lantas membuat cairan di permukaan sungai melepaskan mereka. Entah bagaimana caranya cairan yang tadinya lebih mirip pelangi yang teramat indah itu bisa menjangkau lubang-lubang batu di dasar sungai dan membuat ikan-ikan itu terkulai lemas lalu sekarat menemui ajal mereka.

Raja ikan mulai frustasi karena hanya dia yang tersisa. Kemudian ia memutuskan berenang ke hulu sungai untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ia menyusuri sungai yang tak lagi jernih, sedangkan cairan berminyak itu bertambah pekat. Ia tak bisa melihat apapun yang ada di hadapannya, tak jarang kepalanya terantuk batu. Sang raja ikan benar-benar sudah terlalu payah untuk melanjutkan perjalanannya, matanya berkunang-kunang dan siripnya sudah teramat lelah. Ia mendongak keatas, dan tak ada apapun yang bisa dilihat. Hanya pekat yang teramat sangat.

Sementara itu di sepanjang bantaran sungai, satu per satu penduduk mulai meninggalkan sungai karena tak ada lagi ikan-ikan yang muncul, air sungai yang digunakan untuk mandi dan mencuci serta aktifitas lainnya juga menjadi gatal dan berubah merah seperti darah, kadangpula berbau anyir. Banyak penduduk dusun yang menderita penyakit gatal-gatal. Lalu satu persatu dari mereka membongkar tenda-tenda yang mereka dirikan sejak beberapa bulan lalu. Para petani kembali menggarap sawahnya, pedagang kembali berjualan di pasar, begitu pula para Pegawai Negeri serta penduduk yang lain, mereka kembali beraktifitas seperti tidak pernah terjadi apapun di dusun itu.

Bangilan, Februari 2017
Penulis adalah anggota K3.
PENJAJAH NEGERI IKAN PENJAJAH NEGERI IKAN Reviewed by ADIB RIYANTO on 05.40.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.