Tak ada pelangi dan senja untukmu

Jika aku bisa mengerat senja dan memasukkannya kedalam amplop seperti yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma untuk pacarnya, tentu hal itu sudah kulakukan untukmu-meski kau bukan pacarku. Aku pikir itu akan menjadi hadiah yang menyenangkan. Dan kau pasti akan menganggap aku gila karena telah benar-benar mengerat senja: mana mungkin seseorang bisa mengerat senja, kau pasti sudah gila, batinmu. Lalu kau akan terkejut setelah membuka amplop yang memang benar-benar berisi senja dariku. Kau mengambilnya dengan sangat hati-hati, membuka lipatannya kemudian memasangnya di dinding kamarmu. Dan kau heran bagaimana aku bisa mengerat senja seindah itu - yang kini telah kau pasang di dinding kamarmu.

Hari ini langit sedang menangis- bukan menangis tapi gerimis. Dan itu selalu mengingatkanku padamu: gadis manis bermata sendu, Riyani.

Setelah gerimis reda nanti aku berencana mengambil juga pelangi untukmu: aku akan menarik pelangi itu dari atas bukit, lalu menggulungnya kemudian menyimpannya dalam saku celanaku yang nantinya akan kuberikan untukmu. Ya, seperti sebuah cerita yang di tulis Sungging Raga. Akhirnya kau memasang pelangi itu diatas senja yang sebelumnya sudah lebih dulu kuberikan. Sempurna! Kau tersenyum puas karena telah memiliki pelangi dan senja di kamarmu. Bukankah itu yang kau harapkan Riyanni? Sementara itu orang-orang diluar sana saling bertanya karena tiba-tiba senja menghilang dan meninggalkan lubang yang besar di cakrawala. Mungkin dengan cara itu kau akan terkesan dan mulai menaruh hati padaku.

"Lelaki seperti apa yang kamu cari?" Sebuah tanya mengudara dari mulutku suatu ketika. Kau diam. Hanya debur ombak yang menjawab. Pandanganmu terlempar jauh pada rembulan yang berenang di dalam lautan. Lalu kau bercerita tentang seorang pangeran impianmu. Pangeran berkuda putih dengan membawa senja di tangan kanannya serta menggantungkan pelangi di lehernya. "Apakah dia menenteng senja?" Tanyaku. "Mana bisa seperti itu? Manusia mana yang mampu menenteng senja dan mengalungkan pelangi di lehernya? Itu tidak mungkin." Dan lagi-lagi kau menutup mulutmu rapat-rapat. Dan tatapanmu... ah, tatapanmu seteduh ombak di ceruk itu.

Sejak saat itu, aku berusaha mencari cara untuk mencongkel senja dari cakrawala. Juga menarik pelangi, untukmu Riyanni. Setiap kali senja mementaskan operanya aku akan bergegas naik ke tempat yang tinggi untuk mencongkel senja dengan membawa godam, linggis dan kawan-kawannya. Aku selalu hampir bisa mencongkelnya dari cakrawala, tapi berkali-kali juga waktu selalu berhasil menggagalkannya. malam teramat cepat menarik senja ke pangkuannya.

Tahukah kau Riyanni? Ternyata dugaaanku selama ini salah. Senja tak selembut yang kukira, senja itu keras. Sangat keras. Bahkan peralatan-peralatan yang ku pakai untuk mencongkel senja mengeluh. Ya, mereka mengeluh Riyanni.

"Aku tak mau kau gunakan mencongkel senja lagi." Protes godam. "Ya, kami sudah lelah." Yang lain menimpali. Lalu mereka berlarian meninggalkanku sendiri, terpekur mengutuki diri sendiri. Aku hampir putus asa karena masih belum juga berhasil mendapatkan senja. Sementara itu aku mendengar kabar jika mulai banyak lelaki yang mendekatimu, bahkan ada juga yang hampir meminangmu. Aku menangis. Ya, aku menangis Riyanni, seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya.

Kemudian aku bertanya kesana-kemari mencari seseorang yang mampu membantuku mencongkel senja dari cakrawala. Berbagai orang telah kutemui di kota ini Riyanni, tapi mereka malah menganggap aku gila. "Apa kau sudah gila anak muda?" Ucap seorang tua. "Dasar orang gila."

Bahkan anak-anak kecil di kotaku tak mau kalah meneriakiku gila Riyanni.

Terakhir aku mendatangi orang-orang berseragam. Aku meminta tolong pada mereka untuk membantuku mencongkel senja dari cakrawala. "Tolong lah pak, mungkin anda bisa membantu saya mencongkel senja." Aku memelas.
"Wani piro?" Jawab mereka. Ah, jawaban orang-orang berseragam itu mengingatkanku pada sebuah iklan racun tikus di televisi.

Aku mengurung diri di kamar setelah itu. Aku benar-benar hampir putus asa karena tak kunjung mendapatkan senja untukmu. "Pelangi! Ya, mungkin aku bisa mengambil pelangi lebih dulu." Gumamku. Tapi ini musim kemarau, pelangi tak muncul di musim seperti ini. Aku mendengus pasrah.

Tapi pernah suatu ketika di musim kemarau yang basah sebuah pelangi tipis muncul. Cahayanya sedikit redup. Aku bergegas mendaki bukit untuk mengambilnya, tapi saat aku berhasil memegang salah satu ujungnya pelangi itu meleleh, cairan warna-warni membasahi tanganku. Seperti cat, tapi warnanya sedikit pucat. Tubuhku lunglai.
Saat aku hampir putus asa untuk mendapatkan senja, akhirnya berhembus sebuah kabar yang mampir di telingaku. Ada seorang tua yang sakti jauh di selatan kota ini. Dari kabar yang ku dengar, dulunya dia adalah seorang penulis terkenal. Bahkan ada yang bilang dia pernah menjadi rembulan untuk menghibur anak-anak korban bencana. Tapi kini ia mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi dan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya.

"Masih ada harapan. Mungkin dia bisa membantuku mencongkel senja." Batinku. Tanpa membuang waktu aku segera menemuinya. Tak seperti bayanganku, ternyata dia tidak benar-benar tua. perawakannya tegap, berkulit putih serta rambutnya hitam pekat dan sedikit berombak: tak ada sehelaipun yang berwarna putih. Tapi dia sudah berumur ratusan tahun. Dia sudah tua, tapi masih terlihat muda. Sangat aneh. Sepertinya dia bisa melawan hukum semesta.

"Maaf anak muda aku tidak bisa membantumu." Ucap lelaki itu. "Yang akan kamu lakukan terlalu beresiko." Lanjutnya.

"Tolonglah tuan, bantu aku mencongkel senja. Bukankah dulu anda juga pernah menjadi rembulan?" Aku memelas.

Lelaki itu diam sejenak dan memperbaiki posisi duduknya. "Cobalah bertanya pada Seno Gumira ajidarma, dia pernah mengerat senja untuk pacarnya. Mungkin dia bisa membantumu."

"Lalu bagaimana dengan pelangi? Bagaimana aku bisa menariknya?"

Ada jeda cukup lama, lelaki itu menghembuskan nafas berat. "Mungkin kau bisa menanyakan hal itu pada sungging raga, dia pernah menulis tentang seorang gadis yang menarik pelangi." Jawabnya.

"Apakah mereka penulis seperti tuan?"

"Ya."

"Apakah mereka juga berumur ratusan tahun?"

"Ya. Dan kau terlalu banyak bertanya anak muda."
Aku meringis.

Aku merasakan harapan itu kembali menyala setelah hampir padam Riyanni. Akhirnya ada juga orang-orang semacam itu. Aku tak sabar untuk segera mempersembahkan pelangi dan senja untukmu.

Aku bergegas menemui  Seno Gumira
Ajidarma setelah berpamitan dengan lelaki yang pernah menjadi rembulan itu.

Mungkin kau tak percaya Riyanni. Tapi ternyata Seno Gumira Ajidarma dan Sungging Raga masih terlihat muda seperti lelaki yang pernah menjadi rembulan itu. Padahal usianya sudah ratusan tahun. "Apakah semua penulis seperti itu? Selalu tampak muda walau sudah berusia ratusan tahun? Apakah semua penulis bisa melawan hukum semesta?" Batinku. Tapi aku tak peduli. Yang terpenting aku akan segera mempersembahkan pelangi dan senja untukmu Riyanni.

"Tuan, bisakah anda membantu saya mencongkel senja?" Tanyaku. Seno Gumira Ajidarma tersenyum kecut.

"Tolonglah tuan, kalau aku tidak bisa mempersembahkan senja untuk pacarku, maksudku: calon pacarku, dia akan meninggalkanku. Bukankah anda pernah melakukannya untuk pacar anda?"

"Kata siapa? Aku tak pernah melakukannya."

"Lalu cerita SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU? Bukankah anda yang menulisnya?"

"Iya, tapi aku tak benar-benar melakukannya, lagipula aku hanya mengerat senja, bukan mencongkelnya."

"Tolonglah tuan, kau pasti sedang bercanda, aku tau kau bisa melakukannya." Rengekku. Seno Gumira Ajidarma mendengus kesal melihat kengototanku.

"Ya, aku memang bisa melakukannya, tapi itu sudah sangat lama. Dan aku tak pernah melakukannya lagi sekarang." Akhirnya dia menyerah dengan kengototanku.

"Kalau begitu, tolong ajari aku tuan."

"Di dunia ini tak sedikit orang yang menyukai senja, aku tak akan membiarkanmu merenggutnya dari mereka. Tapi aku akan meminjamkanmu." Dia mengeluarkan sebuah amplop warna coklat. "Aku mendapatkan ini dari bawah gorong-gorong." Lanjutnya. Aku mengangguk pelan mengamini.

"Bagaimana dengan pelangi? Apakah anda percaya jika pelangi bisa ditarik dan di letakkan di dalam saku celana?"

"Siapa yang bilang?"

"Sungging Raga, dia menulisnya dalam sebuah cerita." Seno Gumira Ajidarma diam. Di dalam cerita ini memang banyak tokoh yang menyukai diam.

"Mungkin saja." Jawabnya singkat.

Setelah mengucapkan terima kasih aku bergegas menemui Sungging raga untuk mengajariku menarik pelangi. Tapi seperti halnya Seno Gumira Ajidarma, Sungging Raga tak mau mengajariku menarik pelangi. Ia hanya mau meminjamkannya. Ia memberiku sebuah amplop warna putih yang katanya berisi pelangi yang di dapatnya dari Slania, gadis kecil yang di temuinya di stasiun sidareja. Aku kegirangan menerimanya Riyanni. Aku tak sabar memberimu pelangi dan senja yang ku pinjam dari Seno Gumira dan Sungging Raga.

Dan saat kita bertemu ketika itu, di depan klenteng Kwan Sin Bio yang menghadap ke laut di kota kita, aku berubah fikiran. Aku mengurungkan niatku memberikan pelangi dan senja untukmu.

"Aku sudah mendapatkan pelangi dan senja seperti yang kau inginkan Riyanni." Ucapku Sembari memberikan amplop putih dan coklat yang berisi pelangi dan senja. Sejenak diam.

"Oh ya?" Kau tampak sumringah dan mengambil kedua amplop itu dariku. Lalu kau membuka amplop itu. Kau takjub saat melihat isinya.

"Pelangi dan senja yang indah." Gumammu. "Aku tak tak pernah melihat pelangi dan senja seindah ini, darimana kau mendapatkannya?"

"Seno Gumira Ajidarma dan Sungging Raga. Bisakah kau mengembalikan kedua amplop itu?"

"Kenapa? Bukankah kau sudah memberikannya padaku?"

"Tadinya memang seperti itu, tapi aku berubah fikiran."
Ada kerutan terpahat di wajahmu. "Aku baru saja menyadari satu hal. Aku memang mencintaimu dan berharap menjadi pangeran berkuda putih yang membawakan senja serta mengalungkan pelangi di leherku, tapi itulah yang membutakan mataku."

"Kenapa seperti itu?"

"Tahukah kau Riyanni? Tak sedikit orang yang begitu mengagumi senja dan pelangi di dunia ini. Lalu bagaimana jika mereka melihat senja dan pelangi hilang begitu saja dari dunia ini? Bukankah aku hanya akan menjadi tokoh antagonis bagi mereka?" Angin laut utara memasung jarak. "Aku menari diatas kegelisan dan keresahan mereka Riyanni. Aku tak mau hal itu terjadi."
Air matamu meleleh seketika. Seperti es krim. Lalu kau menutup amplop itu dan mengembalikannya padaku dengan sangat hati-hati. Aku mengambilnya dan meninggalkanmu yang masih menangis. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak mau mengambil kebahagiaan orang lain untuk kebahagianku sendiri. Aku harus mengembalikannya.

18 Desember 2016

Cerita ini terinspirasi dari cerpen SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU oleh Seno Gumira Ajidarma, PELANGI YANG JATUH DI SIDAREJA oleh Sungging Raga dan REMBULAN KOTA LUMPUR oleh Ikal Hidayat Noor.

Adib Riyanto, anggota aktif Komunitas Kali Kening.
Tak ada pelangi dan senja untukmu Tak ada pelangi dan senja untukmu Reviewed by ADIB RIYANTO on 00.25.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.