ON AIR

Aku tak bisa tidur, kedua mataku masih terlalu angkuh menatap langit-langit kamarku. Kidung rindu yang di nyanyikan satwa malam diluar sana tampaknya telah gagal meniupkan lelap di mataku. aku mengkerut dalam selimut usangku, udara yang merangsek masuk menghembuskan gigil.

Aku melirik jam di ponselku, sudah pukul 01:15 dini hari. Waktu yang masih terlalu muda bagi sang baskara untuk menyirami pucuk-pucuk daun jati dan menyulam harap pada beberapa potong baju serta celanaku yang belum sempat kering sejak kemarin. Aku menarik selimutku dan memeluk tubuhku, fikiranku masih mengembara pada sore tadi.

"Saya hanya nyopirin lo ya, nanti yang ngomong biar mas I, pak J, serta mbak L saja." Ujar pak R sambil fokus mengendalikan isuzu panter yang melaju dengan lincah di tengah gerimis kenangan yang belum mau berhenti sedari siang. Ya, beberapa orang menganggap gerimis musim penghujan serupa kenangan: membutuhkan waktu cukup lama untuk reda. Seperti yang di katakan oleh seorang teman di sebuah chat di grup literasi kami beberapa waktu lalu.

"Tapi saya ndak bisa ngomong je pak." Sahut mas I berargumen. "Biar nanti sampeyan, pak J, serta mbak L saja yang ngomong, saya cukup memperkenalkan panjenengan semua pada mbak Y, sang penyiar yang juga seorang penulis itu." Lanjutnya. Mendengar nama mbak Y aku tersentak, bukan tanpa alasan aku seperti itu karena dia adalah salah satu cerpenis idolaku. Aku tak sabar untuk menjumpainya.

"Yo ndak bisa gitu toh mas I, secara sampeyan kan lurahnya, jadi sudah seharusnya sampeyan yang ngomong." Pak R kembali menodong mas I untuk bicara dalam acara nanti. "Saya kan sudah berbaik hati untuk mengemudikan mobil ini, masa saya harus ikut ngomong juga?" Pak R tertawa lepas. Mas I tersenyum kecut, mungkin ia sedang mengutuki dirinya sendiri. Aku dan mas K yang duduk bersama mas I di kursi belakang kemudi cekikikan mendengarkan percakapan mereka.

"Saya ndak bisa ngomong pak," mas I membela diri sembari menggaruk kepalanya yang mendadak serasa di penuhi kutu oleh pernyataan pak R. Pak R tersenyum tipis.

"Tenang saja, kalau ada mas R dan mbak L semua masalah pasti beres." sahut pak J yang duduk di sebelah pak R tak mau kalah. "Saya juga ndak bisa ngomong soale, saya lagi pusing, banyak tugas lain yang musti di selesaikan." Pak J melanjutkan.

"Lo, sebenarnya kami hanya mengantar sampeyan lo pak, di surat pemberitahuan kemarin yang di bahas kan karya-karyanya sampeyan, jadi sudah sepantasnya nanti sampeyan yang jadi pembicaranya." Ujar mas I. Senyum tipis tersungging di bibirnya, sebuah senyum kemenangan. Pak J hanya diam. "Nanti biar di temani juga sama mas A." Kali ini mas I menunjukku juga. Aku menggeleng, sementara pak R masih fokus mengemudi sembari terkekeh mendengar ocehan mas I.

"Kok jadi saya mas I? Saya kan cuma pengen ketemu sama mbak Y si cerpenis itu!" Kataku. "Lagi pula saya belum punya karya nyata seperti panjenengan semua. Sampeyan misalnya, sudah berkali-kali memenangkan lomba tingkat nasional dan baru saja menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi, pak J yang sudah menerbitkan dua buku yang menginspirasi banyak orang beliau juga blogger yang sudah me-Nasional, pak R yang pernah menjuarai karya tulis ilmiah tingkat nasional dan akan menerbitkan sebuah novel dan kumpulan cerpennya dalam waktu dekat, beliau juga legenda hidup pemain sepak bola di kota B, serta mbak L yang pernah menjadi NDUK TUBAN, beliau juga sutradara teater yang sudah memboyong sekarung penghargaan. Selain itu beliau adalah penulis puisi serta seorang cerpenis yang dalam waktu dekat juga akan menelurkan sebuah buku kumpulan puisi. Satu lagi, beliau juga pegiat budaya lokal kan?" tanyaku, mas I mengangguk pelan. "Panjenengan semua adalah orang-orang yang luar biasa mas, sedangkan saya? Saya belum selevel dengan panjenengan semua, masa saya harus membawa sebuah buku karya orang lain lalu saya akui sebagai karya saya sendiri untuk membuat mbak Y terkesan? Kan tidak lucu, lalu apa kata dunia? He... he..." Aku memberikan alasan.

"Lha ya mas I, wong tinggal nyerocos di depan microfon saja kok bingung." Pak R menimpali.

"Iya juga sih mas." Mas I tampak pasrah menerima nasib. Aku tertawa geli dalam hati.

Untuk waktu yang cukup lama suasana hening, tak ada satupun diantara kami yang bicara. Mobil sedan merah mbak L juga masih setia mengekor di belakang kami. Ia berangkat dengan suami serta putrinya. Di sampingku, mas I tengah sibuk memberi kabar mbak Y bahwa kami sebentar lagi akan sampai, sedangkan sisanya menikmati lelehan bening yang mengalir perlahan di jendela kaca, menawarkan serpihan-serpihan kenangan. Ah... lagi-lagi tentang kenangan.

"Kamu pasti sedang merangkai kenangan," ujar mas K menggodaku. Aku tersenyum. Belum sempat ku tanggapi ucapan mas K, suasana riuh kembali terjadi saat tiba-tiba cipratan air coklat muncrat membelai wajah eksotis pak J dari luar karena terjangan motor. Tawa pecah setelahnya, pak J tersenyum tak percaya. Kami yang melihat tragedi air muncrat tak kuasa menahan tawa. Suasana di dalam mobil teramat hangat meski udara dingin diluar menebarkan gigil.

*   *   *

Pukul 6:35 kami sampai di sebuah stasiun radio milik pemda. Suasana lengang, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Gedung aula serta ruangan lainnya sepi tanpa penghuni. Gerimis yang belum juga reda sejak keberangkatan kami seolah membungkus kami dalam sunyi, seperti perasaan yang di rasakan pria-pria patah hati.

Kami menunggu mbak Y di depan aula, sementara mas I berinisiatif mencari ruang siaran. Tak berapa lama kemudian mas I kembali dan mengajak kami menuju lobi. Disana, mbak Y tengah menunggu kami. Mas I pun mengenalkan mbak Y kepada kami satu persatu, sampai tiba giliranku.

"Nama saya A mbak, saya penggemar anda, semua cerpen anda sudah saya baca." Aku berujar. Entah mengapa tanganku terasa dingin. Sepertinya aku sedang gugup.

"Oh ya? Saya sangat tersanjung mas, senang rasanya bisa mempunyai penggemar." Jawabnya. Dia tersenyum. "Anda yang tempo hari kirim pesan ke saya ya?" Tanya mbak Y. Aku mengangguk pelan. Sial, lidahku kaku. Sepertinya rasa gugupku sudah berada di stadium empat, batinku.

"Oh ya, monggo siapa yang siap menjadi narasumber langsung masuk saja ke studio." Mbak Y mempersilahkan. Mas I, Pak R serta pak J saling pandang. Mbak L yang sedari tadi bercengkrama dengan suami dan anaknya menjadi orang pertama yang memasuki ruangan yang bersebelahan dengan lobi diikuti mas I, pak R dan pak J.

Sejam lebih mereka berbincang hangat, mengudara di dalam studio. Sedangkan aku, mas K serta suami dan anak mbak L menunggu diluar. Tapi kami masih bisa melihat mereka dengan jelas dari balik jendela kaca 2×1 meter.

Acara kemudian di tutup dengan pembacan puisi "KALI KENING PADA SENJA BIRU" oleh mbak L. Ah... mbak L selalu sukses membuat semua orang standing ovation saat ia membacakan puisi.

"Terima kasih semuanya ya, karena telah rela kehujanan datang kesini." Ujar mbak Y melepas kepergian kami dengan senyum tipis. "Dan semoga K3 tetap jaya dan tetap menjadi ujung tombak literasi di tuban bagian selatan." Sambungnya.

"Dan semoga kami bisa ikut berpartisipasi dalam mewudkan Tuban sebagai kota literasi." Mbak L menambahi, kami mengamini.

"Mbak Y, sebelum kami pulang, saya mau menyampaikan sesuatu." Ujarku. Mbak Y mengangguk."Tadi seorang teman berbisik pada saya, katanya pas di dalam studio tubuhnya gemetar saat melihat anda, ia mengira sedang jatuh cinta,"

Mbak Y mengerutkan dahi tak mengerti.

"Tapi ternyata ia salah, karena ternyata ia cuma mabuk AC, he he..."

Mbak Y tertawa, dasar gila, batinnya.

ON AIR ON AIR Reviewed by ADIB RIYANTO on 17.56.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.