Senja dan kota rembulan

Kau pernah berharap bisa memeluk senja suatu saat nanti. Matahari yang memerah, awan jingga serta cahaya keemasan yang menari-nari dipermainkan gelombang. Siapa yang bisa menafikan keindahannya? Saat lidah ombak sedang rajin-rajinnya menjilati bibir pantai, kau termangu dalam diammu. Matamu berbinar menatap cakrawala yang dirayapi senja. Senyum tipis itu - yang selalu bertengger di atas bibirmu adalah senyum yang tercipta dari jingga di ufuk barat sana, juga siluet burung-burung yang terbang diantara desir angin yang mengusap lembut rambut hitammu yang panjang terurai.
***
"Benarkah senja di kotamu begitu indah? Melebihi keindahan senja-senja lain di negeri ini?" Tanyamu ketika itu.
"Ya, tentu saja. Bahkan ada perahu-perahu nelayan yang tertambat rapi di sepanjang pantainya."
"Oh ya?" Ujarmu bersemangat. Tapi sepersekian detik kemudian kau menghela nafas berat. "Sayang sekali di kotaku tak ada hal semacam itu." Kau menambahkan.
"Memangnya seperti apa rupa senja di kotamu? Bukankah setiap senja itu sama?"
"Di kotaku tak pernah ada senja sepanjang tahun."
"Benarkah? Apakah seseorang telah mengambilnya?"
"Tidak, bukan seperti itu..." lisanmu mengambang.
"Lalu?"
"Entahlah, aku tak tahu bagaimana itu terjadi, tapi senja sudah hilang sejak aku dilahirkan atau mungkin keadaannya memang sudah seperti itu sejak dulu."
"Kota macam apa itu yang tak ada senja sepanjang tahun?"
"Itu adalah sebuah kota di negeri rembulan."
"Oh..."
"Maukah kau mengajakku mengunjungi kotamu untuk melihat senja suatu saat nanti?" Pintamu dengan mata berbinar.
"Tentu saja." Aku mengangguk pelan mengiyakan tapi aku tak yakin kau melihatnya, karena kau hanya diam setelah itu, kau tengah sibuk menatap hujan di luar sana. Sementara itu bus yang kita tumpangi melaju kencang, meninggalkan rintik hujan yang bagaikan sebuah kenangan.
***
Selalu saja, saat kita bertemu kau akan selalu menanyakan hal-hal itu, perihal senja di kotaku; apakah senja berubah dari hari ke hari? Apakah jingganya masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi? Bagaimana dengan burung-burung? Apakah mereka masih setia menjadi pelengkap senja di kotaku? Juga perahu-perahu nelayan itu; apakah perahu-perahu itu masih tertambat rapi di 65 km sepanjang pantai di kotaku?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu terlempar dari mulutmu saat kita bertemu. Entah itu di jalanan, di terminal, di pasar, di bus yang biasa kita tumpangi , di sudut taman kota atau di manapun.
Tadinya aku hanya melihatmu sebagai wanita biasa - yang aku rasa kau tak peduli bahkan tak mengenal senja sama sekali. Sampai suatu ketika di minggu pagi yang basah, saat jarum-jarum air menghujam tanah, aku melihatmu memainkan biola di satu sudut taman kota. Kau membiarkan tubuhmu dibasahi bulir-bulir air yang jatuh dari cakrawala, tapi kau tak bergeming sedikitpun. Seorang bocah lelaki berdiri di sampingmu sambil memegangi ujung jaketmu. Beberapa orang yang berlalu-lalang tampak memberikan beberapa rupiah di sebuah kaleng bekas yang kau letakkan sedemikian rupa di hadapanmu. Kau sedang mengamen, tapi penampilanmu seperti seorang violinis terkenal yang sedang mengadakan konser. Aku masih ingat, kau sedang memainkan lagu MAHADEWI milik grup band padi.
Ah, aku begitu terkesan melihat kepiawaianmu memainkan benda itu, aku seperti terbius oleh permainan biolamu yang mendayu-dayu. Tak ada sedikitpun nada sumbang yang terselip di antara senandung merdu yang kau mainkan. Untaian-untaian nada itu pula yang membuatku tergerak menghampirimu.
Bocah kecil itu menarik-narik ujung jaketmu lantas membisikkan sesuatu padamu. Mungkin ia takut padaku, batinku.
"Ada apa tuan?" Ujarmu. Aku tersenyum tipis.
"Bisakah anda memainkan sebuah lagu untuk saya nona?"
"Lagu apa yang anda inginkan?"
"Em... menurut anda lagu apa yang pantas untuk saya? Saya baru saja patah hati."
Kau menghembuskan nafas berat, diam beberapa saat lalu melepaskan sedikit senyuman.
"Mungkin lagu ini cocok untuk anda." Kemudian kau memainkan sebuah lagu yang sangat merdu dari gesekan biolamu. Aku tak tahu lagu apa yang kau mainkan, pengetahuanku memang payah perihal lagu-lagu. Tapi gundah itu seketika sirna saat kau melantunkan sebuah lagu dari gesekan biolamu.
"Berapa harga yang harus saya bayar untuk lagu yang anda mainkan nona?" Tanyaku selepas kau merampungkan lagu yang kuminta.
"Gratis untuk anda yang baru saja patah hati tuan."
"Gratis? Jangan bercanda nona, kau layak menerima harga yang pantas untuk musikmu."
Kau sejenak membatu, seperti sedang memikirkan sesuatu. Sesekali kau menatap bocah lelaki itu yang masih memegangi ujung jaketmu.
"Baiklah jika anda memaksa. Anda bisa membayarnya dengan menunjukkan hal terindah di kota anda."
"Maksud anda?"
"Apapun itu yang menurut anda indah tuan."
"Baiklah saya akan menunjukkan anda sebuah senja suatu saat nanti, saat musim sudah berganti."
Setelah pertemuan itu, aku jadi sering mengunjungimu-di sudut kota itu, lalu memintamu memainkan sebuah lagu dari biolamu. Kita menjadi akrab setelah beberapa kali bertemu. Tak jarang di satu kesempatan kita saling bicara panjang lebar tentang kehidupan kita masing-masing, tentang hal-hal yang kita sukai, tentang bocah lelaki itu yang ternyata adalah anakmu-namanya Haykal- tentang kota asal kita, juga tentang senja di kotaku dan keindahan-keindahannya yang selalu kuceritakan.
"Benarkah senja di kotamu begitu indah? Melebihi keindahan senja-senja lain di negeri ini?" Tanyamu ketika itu.
"Ya, tentu saja. Bahkan ada perahu-perahu nelayan yang tertambat rapi di sepanjang pantainya."
"Oh ya?" Ujarmu bersemangat. Tapi sepersekian detik kemudian kau menghela nafas berat. "Sayang sekali di kotaku tak ada hal semacam itu." Kau menambahkan.
"Memangnya seperti apa rupa senja di kotamu? Bukankah setiap senja itu sama?"
"Di kotaku tak pernah ada senja sepanjang tahun."
"Benarkah? Apakah seseorang telah mengambilnya?"
"Tidak, bukan seperti itu..." lisanmu mengambang.
"Lalu?"
"Entahlah, aku tak tahu bagaimana itu terjadi, tapi senja sudah hilang sejak aku dilahirkan atau mungkin keadaannya memang sudah seperti itu sejak dulu."
"Kota macam apa itu yang tak ada senja sepanjang tahun?"
"Itu adalah sebuah kota di negeri rembulan."
"Oh..."
"Maukah kau mengajakku mengunjungi kotamu untuk melihat senja suatu saat nanti?" Pintamu dengan mata berbinar.
"Tentu saja."
***
Hari ini aku berjanji mengajakmu dan Haykal melihat senja di kotaku. Kau bilang Haykal kegirangan bahkan semalam dia tak bisa tidur karena tak sabar melihat senja yang ku janjikan.
"Senja itu apa bu?" Apakah itu mainan?" Tanyanya padamu.
"Ibu juga tidak tahu nak, sudahlah cepat tidur, besok saja bicaranya tentang senja." Jawabmu.
Keesokan harinya, aku menjemputmu di tempat biasa, di sudut taman kota dan naik bus kota. beberapa jam bus melaju membelah jalan beraspal, melintasi pohon-pohon di sepanjang jalan, persawahan, perumahan, jembatan dan jalan Deandles yang monumental.
Lantas kita sampai di sebuah pantai berpasir putih setengah jam sebelum senja mementaskan operanya. Haykal kegirangan, ia berlari-lari dan bermain pasir. Seekor kepiting berjalan tergesa menghindari kejaran Haykal.
"Apakah ini yang dinamakan senja?" Tanyamu sambil memandangi hamparan pasir putih, lautan  juga bakau di sepanjang pantai.
"Bukan, senja baru akan muncul beberapa saat lagi." Jawabku.
"O..."
"Ceritakan tentang kotamu, kota di negeri rembulan."
"Di kotaku hanya ada siang dan malam." Jawabmu.
"Lalu?"
Kau menatap lautan dan membiarkan angin menyapu lembut wajahmu. Lantas kau bercerita; Dulu, kotamu adalah kota yang sangat subur, penduduknya sangat makmur, sawah-sawahnya bisa panen empat kali dalam setahun, aliran sungai melimpah karena kotamu di kelilingi bukit karst. Setiap panen tiba, para penduduk di kotamu mengadakan sebuah pesta. mereka melantunkan nada gembira melalui gesekan biola, hampir semua penduduk bisa memainkannya, termasuk kamu. Bahkan kau sudah bisa memainkan benda itu sejak berumur lima tahun.
Namun semuanya berubah sejak sebuah pabrik pembuat hutan beton didirikan di atas bukit kapur. Sungai-sungai perlahan mengering, tak ada pasokan air untuk sawah-sawah. Tanaman, hewan ternah, bahkan beberapa penduduk mati karena kelaparan. Tanah menjadi tandus dan akhirnya ditinggalkan oleh para penduduk kota.
Begitulah keadaan kota di negeri rembulan yang kau ceritakan.
Tiba-tiba tangismu tercipta tanpa suara. Lalu kau pandang cakrawala di ujung barat. Matahari memerah, awan jingga serta cahaya keemasan menari-nari di permainkan gelombang, lidah ombak sedang menjilati bibir pantai. Matamu berbinar menatap cakrawala yang dirayapi cahaya jingga. Kemudian senyum tipis bertengger diatas bibirmu. Itu adalah senyum yang tercipta dari jingga di ufuk barat sana, juga siluet burung-burung yang terbang diantara desir angin yang mengusap lembut rambut hitammu yang panjang terurai. Kau lihat Haykal berlari kearahmu, lantas duduk di pangkuanmu.
"Apakah itu senja?" Tanyamu padaku. Pandanganmu tertuju pada ujung cakrawala. Matahari memerah, awan jingga berdenyar seperti selendang bidadari, siluet burung-burung juga cahaya redup lampu kapal-kapal nelayan dari kejauhan yang seperti kunang-kunang.
"Ya, itu lah senja." Gumamku
"Indah sekali." Ujarmu penuh kekaguman.
"Bu, bisakah kita mengambil senja dan dipasang di kamar kita?" Haykal berceloteh. Kau menatapnya lembut sambil mengelus rambutnya.
"Tentu saja nak."

Bangilan, 2017.
Senja dan kota rembulan Senja dan kota rembulan Reviewed by ADIB RIYANTO on 22.10.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.