PUPUS



Aku berjalan perlahan mengikuti langkah kaki sesosok perempuan tujuh puluh tahunan yang berjalan pelan di hadapanku. Langkahnya gontai, cenderung terseok-seok menapaki jalan setapak yang berbatu menuju hutan jati siang itu. Nafasnya tersengal karena jalanan yang menanjak. Terkadang ia terbatuk-batuk menghirup debu yang berhamburan di terbangkan angin.

Di satu waktu ia berhenti sejenak untuk mengistirahatkan sepasang kaki rentanya, menyeka peluh di wajah lelahnya yang mulai keriput, atau hanya sekedar meneneguk air yang dibawanya dari rumah untuk membasahi kerongkongannya yang kering.

Dialah mbah Tami, mbahku dan satu-satunya keluargaku yang masih tersisa. Sudah hampir enam belas tahun ini kami hidup berdua dalam kemiskinan. Mbah bilang bapakku meninggal saat aku masih berusia setahun, sedangkan ibuku menjadi TKW di luar negeri setelahnya. Tapi hingga kini tak ada sekalipun kabar yang kudengar menghampiri kami setelah kepergiannya enam belas tahun yang lalu.

Terkadang aku berfikir apakah ibu sudah mempunyai keluarga baru disana sehingga melupakan kami disini? Hidup bahagia dengan keluarga barunya. Atau kemungkinan terburuknya, ibu disiksa oleh majikannya yang kejam hingga akhirnya... ahh, sudahlah aku tak mau membayangkannya. lagi pula aku sudah bahagia dengan hidupku sekarang, sosok mbah tami sudah cukup bagiku untuk menggantikan peran bapak dan ibuku.

"Nduk ndang gage, selak dalu." Suara mbah tami sedikit bergetar.
Masih dua kilo lagi jarak yang harus ditempuh, kami harus bepeluh lebih banyak dan memanjangkan langkah untuk bisa segera sampai di hutan jati yang di cintai sekaligus di benci; dicintai karena daun-daunnya yang bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah bagi kami, di benci karena hutan ini yang setiap hari harus kami temui.

"Nggeh mbah." Aku mengangguk pelan. Kami memang harus sesegera mungkin sampai disana jika tak ingin pulang terlalu sore karena jarak yang cukup jauh. Di tambah lagi musim kemarau panjang yang membuat pekerjaan kami semakin sulit dan tentu saja memakan waktu yang cukup lama karena banyak pohon jati yang meranggas, dedaunan mengering dan berguguran satu persatu. Kami harus bekerja ekstra keras untuk sekedar mengumpulkan segendongan daun jati yang harganya tidak seberapa yang kami jual keesokan harinya di pasar pagi.

Biasanya beliau sendiri yang mengantarnya ke pasar saat sang surya masih terlelap dari tidurnya sebelum subuh yang dingin. Mbah akan berjalan menyusuri jalan menuju pasar yang berjarak hampir sepuluh kilo meter dari rumah kami untuk menjajakan daun jati yang di petik di hari sebelumnya. Sedangkan aku sibuk membuat gethuk goreng yang nanti akan kubawa saat berangkat sekolah dan kutitipkan di kantin.

Sebenarnya aku tidak tega melihat keadaan beliau sekarang. Di usianya yang mulai senja, mbah masih harus bekerja keras mencari sesuap nasi untuk menghidupi kami. Batinku teriris, aku menangis dalam kesunyian, senyap tanpa suara.

Tapi tak banyak hal yang bisa kulakukan untuk membuat hidup kami menjadi lebih baik. Suatu saat nanti aku akan membuat hidup kita lebih baik mbah, keras kusabetkan celurit pada daun jati di hadapanku.

Ya, pada saatnya nanti aku akan tumbuh seperti pohon kepoh di tepi kali kening yang melegenda. Yang akarnya menghujam kuat ke dalam tanah. Rimbunan rantingnya akan mengalirkan energi positif dan menjadi tempat berteduh yang nyaman bagi mbah.

* * *

Siang itu sang baskara bersinar cukup terik saat aku melangkahkan kaki menuju rumah. Tapi itu tak mengurangi kebahagianku hari ini. Ahh.. aku jadi senyum-senyum sendiri jika mengingatnya. Ya, aku berhasil lolos seleksi di sebuah PTN di ibukota lewat jalur bidik misi. Bu ratna, kepala sekolahku sendiri yang bilang tadi saat jam istirahat.

"Yuni, selamat ya kamu berhasil lolos seleksi bidik misi." Ucapnya dengan senyum penuh wibawa. Untuk sejenak aku tertegun tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Beneran buk?" Tanyaku tak percaya. Bu ratna mengangguk pelan mengiyakan. Sontak aku melompat kegirangan, kakiku seperti tak lagi berpijak pada tanah. Ya, aku melayang, terbang diantara awan-awan cyrus yang lembut.
Aku bisa membayangkan betapa bahagianya mbahku saat nanti kuberi tahu tentang hal ini. Beliau pasti bangga, pikirku.

Aku mempercepat langkah agar segera sampai di rumah. Aku tidak sabar ingin memberitahukannya pada mbah.
Sang baskara perlahan menuruni dinding hari, sudah hampir satu jam aku berjalan menuju rumah. Tinggal beberapa ratus meter lagi aku akan disambut sebuah gubuk reot yang yang berdinding kepang. Ya itulah yang kusebut rumah. Jauh dari devinisi rumah yang sebenarnya memang, kecuali mempunyai kesamaan fungsi; sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan bagi penghuninya.

Dari tempatku berpijak kini sudah tampak mbahku yang sedang sibuk menata kayu bakar yang di jemur di depan rumah. Biasanya kayu bakar itu akan di jual kepada para tetangga, dan sisanya untuk keperluan kami sendiri.
Aku kembali mempercepat langkah. Tak ku hiraukan lagi terik yang sedari tadi menyengat kulit dekilku. Harapanku hanya satu saat itu, segera sampai di rumah dan memberitahukan hal bahagia ini pada mbah, itu saja.

Sebelum akhirnya semuanya di buyarkan oleh suara klakson mobil yang terdengar keras di belakangku, seperti suara burung gagak yang membawa kabar buruk. Sebuah benda besar menghantamku dari belakang, aku jatuh tersungkur. Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Pada detik itu waktu seakan berjalan melambat seperti slow motion dalam scene sebuah film. Dari kejauhan terdengar suara mbah berteriak samar memanggilku.

Aku tidak akan sempat menjadi orang yang bisa kau banggakan mbah, aku tidak akan sempat menjadi pohon kepoh rindang di tepi kali kening yang melegenda. Ya, pohon rindang tempat yang nyaman untuk kau berteduh kelak. Aku hanya daun kering yang jatuh ke tanah dan akhirnya hancur di koyak masa.
PUPUS PUPUS Reviewed by ADIB RIYANTO on 23.09.00 Rating: 5

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.