PUSARA



Aku terdiam di depan gundukan tanah merah yang masih basah. Sudah sepekan berlalu, tapi seuntai senyum manja yang biasa tersungging dari bibirnya masih membayang dengan jelas di fikiranku. Aku tertunduk lesu. Mataku kabur, sesaat kemudian kristal-kristal bening meleleh dari sudut mataku. Aku tidak menyangka semua akan terjadi begitu cepat. Aku masih tidak percaya dengan semua ini.
* * *
Subuh yang pekat tepat pukul 04:35. Udara masih dingin. Sang surya juga masih terlelap dalam tidurnya. Aku bisa melihatnya dari celah jendela kamarku yang menghadap langsung ke arah timur, tempat mentari mengintip dari kaki langit. Belum ada tanda-tanda ia akan segera terjaga dari tidurnya, pikirku. Sehingga aku tak perlu bergegas untuk beranjak dari tempat tidur dan mengumpulkan segenap kesadaranku untuk sekedar membuat secangkir kopi hitam dengan sedikit gula. selain itu karena ini adalah hari minggu. Ah.., hari minggu selalu menjadi waktu yang menyenangkan, waktu untuk bermalas-malasan bagiku setelah mengerjakan rutinitas yang cukup melelahkan selama beberapa hari. Aku bisa beristirahat seharian tanpa terganggu oleh pekerjaan.
Di detik itu aku masih meringkuk dalam selimut usang yang membuatku nyaman. Ya, selimut usangku adalah zona nyaman bagiku, wilayah teritorialku yang tak seorangpun bisa dengan sesuka hati memasukinya. Kecuali bagi sekumpulan berandal yang bernama nyamuk. Mereka tak pernah kehabisan cara untuk terus mengusikku meskipun sudah banyak cara yang kulakukan untuk mengusirnya. Dan sialnya lagi, sisa-sisa nyanyian satwa malam yang merdu juga sukses menghipnotisku untuk kembali merangkul lelap, mengajakku kembali ke alam mimpi.
Trttt...
Ponselku bergetar, sebuah pesan dari nadia. Aku lupa jika hari ini ada janji dengannya. Ah... Sepertinya aku harus segera beranjak dari tempat tidurku.
Sedikit tentang nadia, dia adalah pacarku. Kami bertemu saat mengikuti SNMPTN tujuh tahun silam. Dia berhasil masuk fakultas sastra indonesia di sebuah PTN terkemuka di jogja. Sedangkan aku? Jangan tanyakan tentang aku kawan, karena aku yakin kalian sudah tahu jawabannya. Ya, aku harus gigit jari karena gagal lolos seleksi.
Kini nadia bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah yang cukup terkenal di kota gudeg. Dan tahun ini memasuki tahun keduanya bekerja disana. Dia juga seorang penulis yang hebat, meskipun belum satu pun buku yang ia buat. Aku sering membujuknya untuk membukukan karya-karyanya tapi dia selalu menolak. Nadia lebih suka menuliskan karyanya di sebuah blog yang ia kelola. Meskipun begitu aku adalah salah satu penggemar setianya.
* * *
"Sudah lama nunggu mas?" Nadia berujar.
"Lumayan, sekitar setengah jam." Jawabku datar sembari menyeruput kopi hitam yang berangsur dingin.
"Maaf aku telat, jalanan lagi macet banget, hujan juga nggak mau berhenti dari pagi." Kilahnya sambil membuka jaket krem yang di kenakan karena basah. Nadia mengambil duduk tepat di hadapanku dan memesan secangkir cappucino favoritnya pada sang barista. Butuh waktu lima menit bagi sang barista untuk membuatkan secangkir cappucino pesanan nadia.
Di luar sana hujan memang sedang turun cukup lebat, padahal seharusnya ini sudah memasuki musim kemarau. Beberapa tahun kebelakang cuaca memang sulit di prediksi. Mungkin ini salah satu dampak langsung dari global warming seperti yang di gaungkan oleh para ilmuwan dari seantero dunia. Tapi entahlah aku tak begitu mengerti tentang hal itu, aku juga tak begitu mempedulikannya.
"Aku sudah terbiasa nunggu kok. Oh ya, kamu kan dari dulu memang suka telat." Jawabku sinis. Nadia melotot kearahku. Aku tersenyum kecil menanggapi pandangannya.
"Mas kok gitu sih..." wajah nadia memelas.
"Hehe... Ada apa? Tumben pagi-pagi banget udah kirim pesan, biasanya di jam sepagi itu kamu juga masih molor." Aku meledeknya. Ia menghela nafas berat.
"Jangan mulai lagi deh!" gadis berkaca mata full frame dengan rambut ikal sebahu itu tampak kesal. Dan lagi-lagi aku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapannya. "Jangan ngambek gitu dong." Aku mengacak-acak rambut ikalnya. Ia masih cemberut sambil memperbaiki rambut ikalnya yang ku berantakkan tadi.
"Habisnya mas gitu sih." Suara nadia manja.
"Iya-iya... maafin mas deh." Aku berusaha menetralkan keadaan.
Setengah jam lebih kami berbincang ngalor ngidul menanyakan kabar masing-masing, melepas rindu setelah hampir beberapa bulan terakhir tak bertemu. Sampai pada satu titik nadia memperbaiki posisi duduknya dan menyeruput cappucino yang ia pesan. Ia tampak gelisah.
"Oh ya, katanya  kamu mau ngomong penting, mau ngomongin apa sih?" Tanyaku penasaran. Untuk waktu yang lama nadia hanya terdiam sambil menatap nanar hujan diluar sana yang semakin lebat. Angin bertiup kencang mempermainkan ranting pohon tanjung yang berbaris rapi di sepanjang trotoar.
"Aku nggak tahu harus memulainya dari mana mas." Suara nadia bergetar. Rasa penasaran semakin membuncah memenuhi ruang kosong di dadaku. Tidak biasanya nadia seperti ini. "Ada apa sih? Ngomong dong." Aku menatap matanya yang perlahan merah dan berkaca-kaca.
"Mas mungkin sudah menduga hal ini bakal terjadi." Suara nadia terdengar berat menahan tangis.
"Apa?" Jawabku yang masih di selimuti rasa penasaran.
"Selama beberapa tahun ini mas sudah tahu kan kalau bapak kurang begitu suka dengan mas?"
"Iya, aku tahu, bukannya kamu sendiri yang dulu bilang ke aku? Memangnya kenapa? Ada apa dengan bapak?"
Nadia menghela nafas panjang lalu melanjutkan perkataannya. "Bapak menjodohkanku dengan pria pilihannya, beliau bilang aku nggak akan punya masa depan yang cerah jika hidup denganmu mas." Nadia terisak. Air mata yang di tahannya sedari tadi akhirnya tak mampu lagi untuk di bendung. "Minggu depan aku akan dilamar mas." Nadia melanjutkan masih dengan terisak, tangisnya pecah setelah itu. Nafasku menjadi berat mendengar perkataan nadia. Ya, aku sudah menduga hal ini akan terjadi nad, pikirku dalam hati.
Aku terdiam cukup lama. Sejujurnya hatiku begitu hancur. Aku tak mampu mengatakan apapun. Hampir setengah jam kami membisu. Hawa dingin dari luar yang merangsek masuk dari pintu utama kedai nyatanya telah berhasil meniupkan sepi diantara kami.
"Memang nggak ada yang salah dengan semua ini, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya, tapi apakah tolak ukur sebuah kebahagiaan harus selalu di pandang dengan materi? nggak kan?" Kali ini suaraku yang bergetar. Nadia hanya diam, tertunduk sambil mengaduk-aduk mempermainkan secangkir cappucino yang ia pesan. Ku seruput kopi hitamku yang tak lagi berasap sambil memandangi rinai air yang berebut luruh menghujam jalan beraspal yg sedikit berasap diluar sana. Tampak nadia masih terdiam, menyeruput cappucino yang perlahan dingin sambil memandangi jendela kaca yang mengembun karena uap hujan.
Aku jadi teringat sebuah quote dari seorang penulis favoritku; tujuh puluh lima persen air hujan adalah kenangan. Mungkin itu memang benar jika melihat cara nadia memandang hujan. Aku yakin perasaan tak keruan membuncah di hatinya sekarang. Sama sepertiku. Suatu saat nanti ketika hujan turun, mungkin kami akan mengingat moment ini sebagai kenangan yang menyakitkan.
* * *
Pagi yang pekat dengan titik-titik air setelah dua minggu berlalu. Matahari akan akan terbit nanti tapi tidak sekarang dan aku masih belum bisa terjaga dari semalam.
Selama dua minggu terakhir aku dan nadia memang masih sering bertukar kabar melalui pesan singkat seperti biasa. Mungkin ini memang hal yang salah karena keadaan yang sudah tidak seperti sebelumnya, hal yang semestinya tidak kulakukan. Tapi pagi ini sungguh tak indah bagiku, aku menyesal karena telah mematikan handphone dari semalam. Setelah ku nyalakan pagi harinya banyak pesan singkat yang masuk dari seorang teman melalui aplikasi BBM;"cepetan ke rumah nadia, penting!!!" Di detik itu hatiku seketika kacau, aku merasa ada hal yang terjadi dengan nadia, entah apa.
Setelah shubuh yang tak begitu khusu' aku bergegas berangkat ke rumah nadia. Ku pacu yamaha mio ku dengan kecepatan tinggi. Sudah tak ku pedulikan lagi kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan, ku terobos lampu merah yang tampak jelas menyala, umpatan-umpatan kasar terdengar samar dari beberapa pengguna jalan yang hampir saja ku tabrak. Namun aku sudah terlalu jauh untuk mendengarnya. Yang ku fikirkan hanya nadia, itu saja.
Tepat pukul 07:15 aku sampai di depan gang rumah nadia bersamaan dengan rintik air yang perlahan luruh ke tanah. Ada sebuah bendera kuning disana, orang-orang yang berkerumun menambah getir perasaanku. Dadaku sesak, nafasku menjadi berat karena itu. Tuhan, apa yang terjadi? Pikirku dalam hati. Terdengar suara tangisan pilu dari dalam yang semakin membuat perasaanku tak keruan. Aku merangsek masuk membelah lautan manusia yang berada di hadapanku dan aku mendapati tubuh nadia terbujur kaku disana.
Seketika kakiku menjadi lemas tanpa daya, aku tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang.
"Yang sabar bay." Suara lirih pramono sahabatku membuyarkan lamunanku. Pram menepuk-nepuk bahuku. "Sudah seminggu yang lalu nadia sakit" pramono berujar.
"Lalu kenapa kamu nggak ngomong?" 
"Nadia melarangku bay, dia nggak mau melihatmu sedih." Ujarnya. tapi tak ku tanggapi ucapan pram. Aku menghampiri tubuh nadia yang tak lagi bernyawa. Kucium wajah pucat pasi dihadapanku itu. Ini begitu tidak adil bagiku, aku membatin. Puzle-puzle kenangan tentang kami menyeruak memenuhi ruangan kosong di hatiku dan itu membuatku sesak. Tampak ayah nadia berdiri disamping jasad anaknya, entah mengapa aku menjadi sangat benci dengan sosok itu. Ia seperti sosok antagonis dalam kehidupanku.
* * *
Aku terdiam di depan gundukan tanah merah yang masih basah. Sudah sepekan berlalu, tapi seuntai senyum manja yang biasa tersungging dari bibirnya masih membayang dengan jelas di fikiranku. Aku tertunduk lesu. Mataku kabur, sesaat kemudian kristal-kristal bening meleleh dari sudut mataku. Aku tidak menyangka semua akan terjadi begitu cepat. Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Ini masih seperti mimpi bagiku. Selamat jalan sayang, semoga kau tenang disana...
Untuk sahabatku; Allah lebih menyayanginya kawan.
PUSARA PUSARA Reviewed by ADIB RIYANTO on 03.32.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.