SEPOTONG SENJA DAN KOPI


Hampir setahun berlalu dan kau masih saja memikirkan seseorang yang pernah menjadi kekasihmu. Tentu saja dia-orang yang pernah kau cintai itu kini sudah bahagia dengan orang lain. Dan bodohnya, kau masih saja memelihara bayangan-bayangan itu  dalam tempurung otakmu.

Aku sering melihatmu duduk sendiri di bawah rindangnya pohon kepoh di bendungan, menatap nanar riak kali kening yang berkejaran sembari menikmati senja dan sepotong kenangan yang timbul tenggelam di permainkan gelombang. Mungkin kau tak benar-benar ingin melupakan dia-yang pernah kau cintai dan lebih memilih memelihara kenangan-kenangan itu dalam opera yang di tawarkan senja.

Dan entah sejak kapan aku mulai menikmati ritual itu dari jarak seratus meter. Memandangimu yang sibuk menikmati duniamu dan melukiskan siluet dirimu dalam jepretan kameraku. Tentu kau tak peduli karena mungkin kau tengah sibuk mengais-ngais kenangan yang berceceran di bak sampah duniamu. Kau juga tak akan peduli pada hal-hal remeh-temeh yang ada di sekitarmu. Bahkan mungkin kau tak menyadari kehadiranku. Entah sudah berapa ratus atau berapa ribu potretmu yang diam-diam kuambil dengan kameraku ketika senja mementaskan tariannya. Dan ini sudah untuk kesekian kalinya.

Angin basah bulan oktober meniupkan nimbostratus, membuat jingga keemasan harus berpeluh banyak untuk bisa menyembul keluar sore itu. Dan seperti biasanya, aku akan duduk bersila dengan kameraku lalu mengarahkan lensaku pada wajah lelahmu. Ada kepuasan tersendiri saat tiba-tiba senyum tipis tersungging di bibirmu, biasanya saat serdadu-serdadu waktu sengaja memperlihatkan ribuan celoteh riang anak-anak kecil yang sedang asyik bermain di seberang sana padamu. Dan itu cukup mengalihkan serta membuyarkan lamunanmu tentang masa lalu.

Ahh... itu sedikit menghembuskan senyum bagiku

Sang bumantara tampak sendu ketika itu, pun nimbostratus semakin kelabu. Mungkin ia tak mampu lagi menampung jutaan rindu yang menguap dari samudera cinta pikirku. Rinai gerimis seperti ribuan jarum yang di hujamkan ke tanah, dan kau terlihat murung, mungkin karena tak bisa bermain dengan kenangan yang di pentaskan senja seperti biasanya. Atau... entahlah biar nanti ku tanyakan padamu jika ingat.

Tapi itu tak cukup membuatmu beranjak dari tempatmu berpijak. Kau masih memandangi senja yang tak lagi jingga. Perempuan macam apa kau-yang membiarkan diri di pasung oleh kenangan hingga tak memikirkan hal lain pikirku. Padahal Tuhan selalu memberikan pilihan. Kau saja yang terlalu bodoh; membiarkan kenangan terus hidup dan meratapinya saat senja bersimpuh di kaki langit dengan tergesa. Itu seperti membiarkan duri dalam daging.

Aku perlahan menghampirimu yang masih sibuk dengan duniamu.

"Menikmati senja yang tak lagi jingga tentu bukan hal yang menarik bukan?" Sebuah tanya mengudara dari bibirku.

"Seharusnya kau di temani secangkir kopi." Lanjutku. Kau memicingkan mata menoleh kearahku. Aku bisa mengartikan pandanganmu; apa pedulimu?

"Hey, sejak kapan kau disini?" Tanyamu sedikit kaget, atau mungkin hanya berpura-pura kaget, mana mungkin dua orang yang berada di tempat yang sama tidak saling mengetahui satu sama lain? Kecuali salah satu dari mereka adalah seorang tunanetra. Aku tahu itu hanya pertanyaan basa-basi yang sengaja kau tanyakan untuk menutupi gundah hatimu atau sekedar menunjukkan sikap ramah kepadaku.

Aku memang tak begitu mengenalmu meskipun kita pernah sekelas dulu. Mungkin karena aku terlalu pendiam sehingga kau tak begitu tertarik untuk mengenalku. Bukankah seorang perempuan lebih tertarik pada lelaki yang humoris? Dan hal itu jelas-jelas tidak ada dalam diriku. Setidaknya itu bunyi sebuah artikel yang tak sengaja ku baca tempo hari.

Tapi aku tak butuh mengenalmu lebih dekat hanya sekedar untuk tahu masalah yang menderamu, karena itu sudah menjadi konsumsi hampir semua teman seangkatan kita.

Aku tersenyum tipis lalu mengambil duduk tepat di sebelahmu, menyimpan kameraku dan membiarkan rinai gerimis menjamah setiap inci tubuhku.

"Sejak kau mengagumi kenangan, dan senja tanpa jingga." Jawabku. Kau mengerutkan dahi tak mengerti.

"Lalu bagaimana tentang kopi?" Tanyamu. Aku menarik tanganku untuk merengkuh tubuhku sendiri. Angin basah bulan oktober meniupkan gigil di tengkukku.

"Kopi dan kenangan seperti dua sisi mata uang, kamu tidak bisa menggunakannya hanya dengan satu sisi saja." Jawabku singkat.

"Ha... ha... ha..." kau tertawa lebar.

"Terkadang selera humor Tuhan memang aneh, hampir setahun lalu ada lelaki brengsek datang mengatas namakan cinta, setelah hatiku terbuka untuknya, dia pergi dengan wanita lain. Dan hari ini seorang lelaki asing datang berkelakar tentang kopi dan kenangan, ha... ha... ha..." Kau tertawa lebar.

Aku melepaskan senyum simpul melihat tawamu. Aku tahu sebenarnya kau sedang menertawai dan mengasihani dirimu sendiri, atas ketololanmu memelihara masa lalu dalam tempurung otakmu. Ya, tolol adalah kata yang paling tepat untuk melukiskan keadaanmu sekarang.

"Kau tidak sedang hidup di masa lalu Ariyani, kau tak bisa terus-menerus memelihara kenangan lalu meratapinya, dan mengasingkan hari ini sebagai anak tiri yang terbuang." Ucapku sambil menatap lelah wajahmu.

"Seperti secangkir kopi, kau hanya perlu menghirup aroma kenangan di dalamnya lalu menenggak rasa pahitnya." Aku melanjutkan.

Kau menatapku dan butiran-butiran bening meleleh dari sudut matamu.

"Mungkin kau benar, aku mengira sudah jauh berlari dari masa lalu, tapi kenyataannya aku tak ubahnya seekor tupai yang berlari di roda yang berputar, sejauh apapun aku berlari, aku hanya berada di tempat yang sama, tak beranjak sedikitpun." Ucapmu sedikit terisak.

Kau berdiri dan menatap senja yang tak lagi jingga. Bahkan ia tak meninggalkan jejak untuk pengagumnya, Ariyani.

"Lain kali kau harus mencobanya, secangkir kopi dengan aroma kenangan." Senyum tipis menyembul diatas bibirku.

"Pasti, aku akan mencobanya suatu saat nanti." Kau berlalu, Semoga saja.


Anggota aktif Komunitas Kali Kening Bangilan.
SEPOTONG SENJA DAN KOPI SEPOTONG SENJA DAN KOPI Reviewed by ADIB RIYANTO on 23.12.00 Rating: 5

2 komentar:

  1. Dan kau tak sadar ada seberkas cahaya yang bersinar begitu terang di atas bangku ringkih sedang menghangatkan jari-jari kakinya di atas tungku pembakaran jagung itu.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.