(BUKAN) DRAMA SERIAL TV

Mentari perlahan merangkak menuruni setiap jengkal katulistiwa, tapi sebagian sudut langit sudah di rundung gelap, semilir angin mulai berhembus pelan mempermainkan batang-batang kurus yg sudah mulai lapuk. Mereka menari-nari, seperti sekumpulan anak kecil yg kegirangan saat hujan pertama datang di akhir musim kemarau yg kering.

Sangat di harapkan oleh sebagian orang karena musim tanam akan segera tiba. Sungai-sungai yg tadinya mengering akan segera teraliri energi kehidupan yg menghidupkan. Dan aroma harum tanah basah akan menyeruak masuk ke setiap rongga dada yg sudah mulai sesak, penat, dan lelah dg jogetan kehidupan yg semakin menggila.

Pun dedaunan yg udzur akan berguguran hingga tak satupun tersisa, memberikan kesempatan pada dedaunan muda untuk tumbuh dan merasakan warna kehidupan yg akan mereka jalani, sampai akhirnya menua dan luruh berserakan diatas tanah basah yg dingin. Begitulah semua berjalan dg dinamis, dan tentu saja tak ada yg kebetulan, semua sudah tertulis rapi di langit ke tujuh, ya! LAUHIL MAHFUD. Skenario Allah yg sempurna.

Aku berada di puncak bukit ini (lagi) sore ini. Seperti beberapa tahun yg lalu, memandangi senja jingga yg sama. Tapi kali ini sedikit berbeda, aku sedang mengadu pada Tuhan kali ini. Merengek dan memohon agar tak terjadi (lagi) tragedi tempo hari, seperti anak kecil yg kalah bermain dg teman sebayanya lalu menangis dan mengadu pada sang ibu, begitulah keadaanku sekarang, mengadu pada Allah dan menangis sejadi-jadinya.

Beberapa waktu yg lalu aku tertusuk (atau sengaja di tusuk) di bagian ulu hati oleh seseorang  yg sudah beberapa tahun ini ku kenal dan ku percaya. Entah motif apa yg menjadikannya tokoh antagonis dan tega melakukan hal itu, setahuku dia tokoh protagonis beberapa waktu yg lalu. Yg pasti aku meronta kesakitan setelah peristiwa itu.

Cairan merah kental dg bau anyir mengucur deras membanjiri kemeja putih yg ku kenakan, lalu ia tertawa lepas setelah melihatku jatuh bersimbah darah. Bak kapal yg hampir karam di permainkan gelombang di tengah samudra, begitulah gambaran tawa yg ku lihat di hadapanku saat ini. Tawanya siap menelanku bulat-bulat.

Perlahan aku mencoba bangkit,  seperti seorang balita yg sedang belajar berjalan, langkahku gontai, sempoyongan tak keruan, bukan melangkah untuk menjauhinya. Anehnya justru mendekati sosok antagonis yg (sebelumnya) protagonis itu. Dan setiap aku dg bersusah payah berada di hadapannya, setiap itu pula ia menusukkan benda itu di tempat yg sama secara berulang-ulang.

Aku merasakan perih dan ngilu yg tak bisa di lukiskan dg kata-kata. Dan anehnya (lagi) orang-orang yg sedari tadi melihatku tersungkur bersorak riang merayakannya bersamaan dg tawa kemenangan sang tokoh antagonis. Ia sukses memerankan perannya dg sempurna.

Kemeja putihku menjelma menjadi merah darah, aku terkapar, ku rasakan dunia mulai berputar semakin kencang seperti motor yg berputar cepat di tong setan, berputar dan akhirnya hanya ada gelap,,,

*  *  *

Senja sudah berada di batas akhir perjalanannya. Pun sayup suara adzan telah memenuhi angkasa seantero negri yg penuh kepura-puraan ini. Dan dia masih saja merasa nyaman dg topeng yg di kenakan. Ia bisa menjadi seorang tokoh protagonis dan secepat kilat berubah menjadi tokoh antagonis yg sadis.

Begitulah peran yg sedang di mainkannya sekarang. Dia menganggap dunia ini hanya sebuah DRAMA SERIAL TV yg di penuhi dg sejuta kepura-puraan. Seharusnya ia mendapatkan piala CITRA atau bahkan piala OSCAR untuk aktingnya yg luar biasa sempurna. dan saat itu aku  cukup menjadi satu dari ribuan bahkan jutaan penonton yg memberikan tepuk tangan yg meriah saat melihatnya menerima penghargaan itu dan tersenyum kecil sambil berkata "dia sangat pantas menerima piala murahan itu".

(BUKAN) DRAMA SERIAL TV (BUKAN) DRAMA SERIAL TV Reviewed by ADIB RIYANTO on 10.21.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.